Sustainable Visitor Management System Untuk Sinergi Pariwisata dan Kebudayaan

Merujuk pada keterkaitan konsep antara pariwisata dan kebudayaan, maka bagaimana dan pada tataran mana terjadi konflik kepentingan ranah pariwisata dan budaya dapat muncul? Kemudian gagasan apa yang bisa dikemukakan terhadap sinergitas program pariwisata dan budaya?

Konflik kepentingan ranah pariwisata dan budaya dapat muncul pada tataran motivasi pelaku kebudayaan dan juga pada tataran nilai-nilai yang diapresiasi. Hal-hal tersebut biasanya muncul karena antara pariwisata dan budaya memiliki orientasi yang berbeda, yang tidak pernah dicoba untuk dikompromikan. Biasanya para pelaku pariwisata yang akan mengapresiasi kegiatan budaya di suatu masyarakat, selalu meminta persetujuan pada tokoh masyarakat di situ, dan juga para pemilik sanggar yang akan mengadakan pertunjukkan tertentu. Jadi di sini tidak ada dari ‘pihak’ Kebudayaan yang bisa dimintai persetujuan, izin, atau restunya. Ketika para pelaku langsung kebudayaan itu setuju untuk memodifikasi pertunjukan kebudayaannya (bahkan ada yang menyetujui memodifikasi upacara adat), tentu pihak pelaku pariwisata pun merasa semuanya sudah berjalan baik-baik saja. Sehingga para wisatawan senang, pelaku kebudayaan senang (karena mendapat pemasukan untuk sanggarnya), juga si pelaku pariwisata merasa senang juga.

Hal ini kemudian menjadi tidak baik-baik saja, ketika ada para pegiat budaya, dan juga tokoh masyarakat lain, yang lantas merasa keberatan akan kegiatan kebudayaan yang sudah dimodifikasi tersebut. 


Namun tentunya hal ini semestinya dibicarakan antara tokoh masyarakat tersebut (atau pegiat LSM Kebudayaan), dengan si pemilik sanggar, atau tokoh yang menyelenggarakan kegiatan kebudayaan tersebut. Jika memang hal itu sulit untuk ditolerir (dimodifikasi), tentu para pelaku pariwisata pun tidak akan memaksakan tamu-tamunya untuk menyaksikan kekayaan budaya dari masyarakat setempat tersebut.

Sinergitas antara program pariwisata dan budaya sebenarnya bisa saja dilakukan. Namun tentu yang harus disepakati sebelumnya adalah apakah tujuan dari pemeliharaan kebudayaan itu sudah sama dengan tujuan dari penggiatan pariwisata. Pada akhirnya pariwisata dan budaya haruslah menyadari bahwa mereka sebetulnya ada di satu mata uang yang sama, namun mungkin ada di sisi yang berbeda. Pihak pelaku pariwisata pun tentu harus diberi pemahaman bahwa kebudayaan yang terlalu diekspolitir pun lama kelamaan akan menjadi kurang daya tariknya bagi para wisatawan, sehingga pihak pariwisata pun bisa kehilangan sumber daya tariknya jika kebudayaan yang biasa ia datangi akhirnya rusak.

Dalam hal ini, harus ada kegiatan khusus antara para pelaku pariwisata dan para pelaku kebudayaan, untuk mencoba ‘berganti peran’. Cara-cara sinergitas dengan metode berganti peran ini sebetulnya sudah dicoba di beberapa sektor, dan terbukti cukup berhasil. Contohnya para pedagang kaki lima di Tangkuban Parahu yang biasanya menyorong-nyorongkan barang dagangan mereka ke wajah para wisatawan, kemudian dicoba diajak oleh pemerintah untuk ikut dalam satu program wisata naik bis ke Jogjakarta. Saat mereka turun di Candi Borobudur, mereka mengeluh. Betapa merasa terganggunya para pedagang kaki lima Tangkuban Parahu yang berlibur sebagai wisatawan itu, oleh acungan barang dagangan dari para pedagang kaki lima di Candi Borobudur. Pada saat itu mulailah timbul kesadaran dari para pedagang kaki lima Tangkuban Parahu itu untuk lebih menghargai wisatawan.

Barangkali cara ini pun bisa dicoba. Bawalah para pelaku kebudayaan untuk menjadi wisatawan dan berkunjung ke daerah lain, untuk menikmati kebudayaan setempat. Betapa mereka akan tertarik oleh pertunjukkan kebudayaan itu, namun waktu kunjungan mereka ternyata sangat sempit. Apa boleh buat sehingga pertunjukkan kebudayaan terpaksa diringkas. Demikian juga ketika mengunjungi kawasan desa tradisional, betapa inginnya wisatawan untuk mencoba berkegiatan bersama-sama dengan penduduk lokal.

Demikian juga para pelaku pariwisata, coba lah dibawa oleh pihak kebudayaan untuk lebih memahami arti konservasi. Betapa jika kebudayaan yang terlalu banyak dikunjungi wisatawan bisa rusak dan akhirnya kita semua tidak punya apa-apa lagi untuk ditawarkan. Sehingga pihak pelaku pariwisata pun bisa menjembatani antara kepentingan minat wisatawan, dengan kepentingan konservasi kebudayaan.

Hal yang lebih utama lainnya tentu adalah memberikan pemahaman-pemahaman kepada masyarakat para pelaku kebudayaan itu sendiri. Tentu masyarakat pelaku kebudayaan sudah menyadari betapa kunjungan wisatawan itu akan membawa manfaat kepada mereka, namun mereka juga harus diberi kesadaran bahwa jangan sampai kebudayaan dan cara hidup mereka berubah karena pengaruh kunjungan wisatawan itu. Jika itu sampai terjadi, kemungkinannya adalah para wisatawan pun tidak lagi memiliki ketertarikan untuk mengunjungi mereka lagi.

Di masa milenium ketiga ini, tentunya terpaan globalisasi akan sangat sulit untuk dihindari. Salah satu upaya lain yang harus kita tempuh, adalah dengan menerapkan prinsip Sustainable Visitor Management System pada setiap kawasan=kawasan kebudayaan yang akan dikunjungi oleh wisatawan. Salah satu keuntungannya antara lain adalah penatalaksanaan yang lebih berkelanjutan dari nilai-nilai kunci lingkungan, budaya, dan sosial dari suatu situs masyarakat kebudayaan. Selain itu juga akan ada keuntungan ekonomik langsung dan tidak langsung dari penarikan dana untuk manajemen situs kebudayaan, juga melalui input terhadap ekonomi lokal melalui belanja wisatawan, dan melalu donasi terhadap organisasi pengelola.

Jadi dengan penerapan sustainable visitor management system, artinya kita harus secara bersama-sama mengelola tourism carrying capacity dari suatu kawasan kebudayaan. Pengertian carrying capacity ini sendiri mencakup physical carrying capacity, economic carrying capacity, maupun social and cultural carrying capacity. Yang terakhir ini artinya bahwa suatu kawasan kebudayaan pun ternyata memiliki kapasitas tertentu yang harus kita pertimbangkan, agar jangan sampai melebihi. Jika melebihi kapasitasnya, maka akan terjadi ketidakseimbangan dan maka kawasan kebudayaan tersebut bisa mengalami kerusakan.

Untuk itu, sudah bukan masanya lagi saling menyalahkan antara pariwisata dan budaya. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah bagaimana menerapkan suatu sistem pengelolaan kunjungan wisatawan agar berkelanjutan. Jika dirasakan perlu untuk memelihara kebudayaan seasli mungkin, bisa saja pihak pemerhati kebudayaan melakukannya dengan membuat semacam konservasi kebudayaan*). Hal yang sama sudah dilakukan untuk bidang lingkungan, di mana kawasan taman nasional misalnya, membuat zonasi di mana pengunjung bisa menikmati kawasan yang aman untuk dikunjungi, sementara tetap ada zona inti yang khusus untuk konservasi.

Mau tidak mau harus diakui bahwa dengan maupun tanpa pariwisata, perubahan nilai budaya itu pasti akan tetap terjadi. Bagaimana sebuah nilai budaya bisa berubah tentu bisa beragam caranya. Pertama tentu secara vertikal yakni dari didikan orang tua. Saat ini orang tua mana yang masih mendidik anak-anaknya dengan kebudayaan asli dari masyarakat tempat mereka berasal? Tentu bisa dihitung dengan jari saja. Padahal dalam sistem kebudayaan, cara inilah yang paling efektif mempertahankan nilai budaya dari suatu masyarakat. Selanjutnya bisa dari orang dewasa lain di sekitar pelaku kebudayaan itu. Saat ini begitu mudah suatu masyarakat pelaku kebudayaan untuk berinteraksi dengan pelaku kebudayaan lain. Tentu dari sini pun nilai-nilai budaya bisa mengalami perubahan. Memang salah satu contoh yang sering kita lihat adalah adanya interaksi antara wisatawan dengan masyarakat yang dikunjungi. Ini pun tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu cara bagaimana nilai budaya bisa berubah. Kemudian cara lainnya adalah dari rekan-rekan sesama pelaku kebudayaan itu sendiri, bisa saja mereka menumbuhkan nilai-nilai kreatif mereka, dan mengembangkan sendiri nilai-nilai kebudayan yang lain di antara sesamanya.
____________________________________________________
http://www.micsem.org/pubs/counselor/frames/cult_lossfr.htm

0 comments:

Post a Comment