Pariwisata dan Kebudayaan - Sebuah Keterkaitan


Agar lebih jelas memahami keterkaitan kedua konsep tersebut, ada baiknya untuk dibahas masing-masing konsep terlebih dahulu satu per satu. Pertama, mengenai kebudayaan. Istilah kebudayaan sudah diperkenalkan oleh Edward B. Tylor, seorang antropolog dari Inggris, dengan cukup memadai dan sering menjadi rujukan bagi peneliti kebudayaan di masa sesudahnya. Ia menyatakan bahwa:  
Culture, he wrote, is "that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society" (Tylor 1924 [orig. 1871]:1)
Kemudian lebih lanjut seorang antropolog Inggris lainnya, Raymond Williams, mengemukakan pendapat bahwa dalam kegiatan berkebudayaan, setiap masyarakat manusia memiliki bentuk sendiri, keperluan sendiri, makna sendiri. Setiap masyarakat manusia mengungkapkan hal-hal tersebut, dalam lembaga-lembaga, serta dalam seni dan pembelajaran.
Dengan melihat pengertian dan pendapat-pendapat tersebut di atas, cukup sulit bagi kita untuk merumuskan pemahaman tentang kebudayaan dalam arti yang lebih merujuk ke satu lingkup yang terbatas. Terlihat bahwa pemahaman tentang kebudayaan ini sangat luas sekali, sehingga bisa dikatakan kebudayaan itu mencakup hampir seluruh aspek kehidupan dalam suatu masyarakat.

Komodifikasi Kebudayaan Oleh Pariwisata

“Kebudayaan mengalami komodifikasi di dalam industri pariwisata.” Apa sebenarnya maksud dan makna pernyataan tersebut? Apabila dilihat dari konsep komodifikasi, unsur-unsur kebudayaan mana sajakah yang rentan mengalami komodifikasi?


Jika berbicara mengenai komodifikasi, maka sebetulnya kita merujuk pada paham kapitalisme yang dikemukakan oleh Karl Marx. Dalam Encyclopedia of Marxism, dikemukakan pengertian komodifikasi adalah sebagai berikut: 
Komodifikasi berarti transformasi hubungan, sebelumnya bersih dari perdagangan, menjadi hubungan komersial, hubungan pertukaran, membeli dan menjual.
"Komodifikasi" sebetulnya adalah istilah yang baru muncul ke percaturan pada tahun 1977, tetapi mengungkapkan konsep fundamental untuk memahami Marx tentang cara kapitalisme berkembang. Dalam karyanya yang terkenal Marx dan Engels menjabarkan proses tersebut tahun 1848 dalam karya mereka yang terkenal the Communist Manifesto:
“The bourgeoisie has torn away from the family its sentimental veil, and has reduced the family relation into a mere money relation.”
Hal ini menunjukkan bahwa istilah komodifikasi memiliki pengertian yang cenderung mirip dengan komersialisasi. Yakni menjadikan sesuatu tidak lagi dinilai dari aspek sentimentil, namun sudah dinilai semata-mata dengan nilai uang.

Sustainable Visitor Management System Untuk Sinergi Pariwisata dan Kebudayaan

Merujuk pada keterkaitan konsep antara pariwisata dan kebudayaan, maka bagaimana dan pada tataran mana terjadi konflik kepentingan ranah pariwisata dan budaya dapat muncul? Kemudian gagasan apa yang bisa dikemukakan terhadap sinergitas program pariwisata dan budaya?

Konflik kepentingan ranah pariwisata dan budaya dapat muncul pada tataran motivasi pelaku kebudayaan dan juga pada tataran nilai-nilai yang diapresiasi. Hal-hal tersebut biasanya muncul karena antara pariwisata dan budaya memiliki orientasi yang berbeda, yang tidak pernah dicoba untuk dikompromikan. Biasanya para pelaku pariwisata yang akan mengapresiasi kegiatan budaya di suatu masyarakat, selalu meminta persetujuan pada tokoh masyarakat di situ, dan juga para pemilik sanggar yang akan mengadakan pertunjukkan tertentu. Jadi di sini tidak ada dari ‘pihak’ Kebudayaan yang bisa dimintai persetujuan, izin, atau restunya. Ketika para pelaku langsung kebudayaan itu setuju untuk memodifikasi pertunjukan kebudayaannya (bahkan ada yang menyetujui memodifikasi upacara adat), tentu pihak pelaku pariwisata pun merasa semuanya sudah berjalan baik-baik saja. Sehingga para wisatawan senang, pelaku kebudayaan senang (karena mendapat pemasukan untuk sanggarnya), juga si pelaku pariwisata merasa senang juga.

Hal ini kemudian menjadi tidak baik-baik saja, ketika ada para pegiat budaya, dan juga tokoh masyarakat lain, yang lantas merasa keberatan akan kegiatan kebudayaan yang sudah dimodifikasi tersebut. 


Namun tentunya hal ini semestinya dibicarakan antara tokoh masyarakat tersebut (atau pegiat LSM Kebudayaan), dengan si pemilik sanggar, atau tokoh yang menyelenggarakan kegiatan kebudayaan tersebut. Jika memang hal itu sulit untuk ditolerir (dimodifikasi), tentu para pelaku pariwisata pun tidak akan memaksakan tamu-tamunya untuk menyaksikan kekayaan budaya dari masyarakat setempat tersebut.