Membangun Merek Pariwisata Indonesia

Jika sekarang orang-orang Indonesia begitu bangga karena bisa berbelanja ke Singapura, itu adalah hasil perjuangan bangsa Singapura di masa-masa yang lalu, dan tidak terjadi begitu saja. Singapura membangun visi yang kuat di bidang pariwisata, dan bisa mereka capai dengan waktu kurang dari 20 tahun.

Menurut Ian Batey, ternyata sebuah negara juga memiliki karakter-karakter yang harus dibangun selayaknya sebuah identitas merek. Dalam bukunya ‘Asian Branding’, ia mengemukakan bahwa Indonesia pun sebetulnya memiliki potensi-potensi untuk membangun merek negaranya, sehingga bisa diperhitungkan dalam perniagaan global di dunia. Contoh yang diberikan juga cukup menarik, yakni bagaimana negara tetangga kita yang kecil mungil, ya, Singapura, berhasil membangun merek kepariwisataan negaranya.

Ini karena Singapura memahami bahwa negara lah yang harus membangun merek kepariwisataannya.

Menurut sejarah, Inggris dan Spanyol memiliki reputasi yang kuat di dalam bidang kepariwisataan. Negara-negara tersebut juga memiliki daya tarik wisata yang mengagumkan, prasarana yang baik, jasa pelayanan laut dan udara ke negara-negara tersebut cukup banyak, dan lain sebagainya.

Di lain pihak, Singapura, tidak memiliki daya tarik wisata seperti negara-negara tersebut. Lantas apa yang membuat negara ini memiliki merek pariwisata yang begitu kuat?

Melihat Iklan Pariwisata Sarawak Melalui Semiotika

Menarik saat mencermati kajian-kajian budaya yang dilakukan oleh para ahli semiologi, dilakukan dengan menggunakan analisis semiotika. Dalam semiotika dikenal istilah signifier dan signified, atau secara umum dikenal sebagai simbolisasi. Jadi dalam setiap tanda, dalam hal ini berupa gambar atau foto, terkandung makna tingkat kedua (signified) yang merupakan simbol akan suatu makna tertentu. Makna tersebut didapat dari konvensi tidak tertulis dalam bahasa manusia.

Dalam bukunya Semiotika Negativa, ST. Sunardi mengemukakan contoh penggunaan semiotika dalam melihat sebuah iklan pariwisata. Jadi dalam iklan pariwisata, kita perlu menggambarkan suatu atraksi wisata menggunakan wujud simbolik. Misalnya ketika kita ingin menyampaikan “Indonesia” kepada wisatawan di luar negeri, Borobudur digunakan sebagai simbol. Atau mungkin bisa saja wayang, atau batik. Gambar-gambar itu, menurut Sunardi, menawarkan berbagai signifieds (tanda) yang pada dirinya melekat nilai-nilai bagi para wisatawan yang melihatnya. Misalnya Borobudur adalah Indonesia. Nilai yang melekat adalah tropis, eksotis, etnik, dan… murah!

Imajinasi wisatawan terbawa larut jauh kepada pariwisata Sarawak yang cantik. Sarawak tampil laksana sebuah negeri ajaib dengan sumber alam yang besar.

Lalu bagaimana semiotika melihat iklan pariwisata Sarawak (negara bagian di Malaysia), yang begitu sukses mendatangkan minat wisatawan mancanegara (khususnya negara-negara barat). Nilai-nilai apa yang begitu kuat, yang kiranya dikandung oleh iklan tersebut?

Peran Komunikasi Visual Dalam Pengembangan Pariwisata Indonesia

Pariwisata merupakan industri jasa yang bersifat intangible. Pakar pariwisata dari Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung, Nuriata, mengatakan, insan pariwisata sesungguhnya menjual ‘mimpi’, atau dengan istilah lain yakni sebagai ‘architect of dreams‘ atau arsitek mimpi. Para wisatawan yang akan membeli sebuah paket wisata tidak akan mengetahui apa yang akan ia alami sampai ia benar-benar membeli paket wisata tersebut dan menjalaninya sampai selesai. Seakan-akan mereka hanyalah membeli mimpi. Lalu bagaimana caranya agar calon wisatawan bisa mendapatkan gambaran tentang apa yang akan mereka dapatkan saat membeli paket wisata yang kita tawarkan?

Insan pariwisata sesungguhnya merupakan seorang architect of dreams.

Cara yang paling tepat untuk memberi gambaran tentang suatu paket wisata adalah dengan gambar. Ada dua negara tetangga Indonesia yang lebih dulu menyadari hal ini.

Relevansi Filosofi “Someah Hade Ka Semah” Terhadap Kemajuan Pariwisata Priangan

Filosofi “Someah Hade Ka Semah” merupakan local wisdom dari tatar Sunda. Ini berarti bahwa urang Sunda harus ramah pada tetamunya. Ramah dalam arti menjamu, menjaga, memelihara, dan berupaya membahagiakan tamu mereka. Someah dalam basa Sunda berbeda dengan darehdeh. Darehdeh berarti banyak senyum dan membungkukan badan. Namun someah memiliki arti lebih luas seperti disinggung di atas.

Dalam hubungannya dengan kemajuan pariwisata di tatar Priangan, maka mari kita lihat terlebih dahulu potret pariwisata di Indonesia saat ini. Dari data terkini yang dikeluarkan oleh budpar.go.id, kita mendapati bahwa jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia turun. Jumlah wisatawan tertinggi dalam dasawarsa terakhir adalah di tahun 2002, sedangkan terendah yakni tahun 2006. Namun jika kita cermati tahun 2004, kita lihat jumlah wisatawan lebih sedikit dari 2002, namun pendapatan Indonesia dari pariwisata lebih tinggi dari 2002 yang jumlah wisatawannya tertinggi.

Ternyata dengan jumlah wisatawan lebih sedikit pada 2004, namun waktu tinggalnya sangat lama, maka jumlah belanjanya juga menjadi besar.

Data tersebut memperlihatkan bahwa ada faktor-faktor lain yang mengakibatkan besarnya pendapatan Indonesia dari pariwisata selain jumlah wisatawan yang datang.